Rabu, 17 Juni 2009

(8) BUDAYA, TRADISI ATAU APA ?

Kita terjebak oleh budaya dan tradisi kita sendiri yang pada kenyataan- nya menyusahkan diri kita sendiri di masa depan


Kita sering melihat peristiwa yang terjadi di depan mata kita dan pada akhirnya kita melihat sebagai sesuatu yang biasa, dimana faktor budaya sangat mengakar dalam kehidupan kita sehari hari. Tapi dalam perjalanan hidup kita, kita selalu lupa pada skala prioritas dan “faktor X” yang selalu kita lalui dan kita hadapi bersama dengan segala usaha dan jerih payah kita selama hidup.


Dalam suatu pembicaraan saya menemukan suatu kenyataan bahwa hidup memang berat dan itu adalah resiko yang harus berani kita hadapi. “kalau” kita memang berani menghadapi dan berani berjuang untuk hidup itu sendiri. Itu adalah takdir dan kita harus dan wajib berserah kepada’Nya.


Kita tidak dibiasakan untuk berhitung dengan angka angka yang selalu mengikuti langkah kita kemanapun kita pergi dan kemanapun kita melakukan usaha. Kita tidak dibiasakan untuk mendalami suatu pemahaman bahwa kita dikaruniai akal pikiran serta jasmani yang sehat untuk melakukan usaha dan mempersiapkan segala kemungkinan yang pasti akan kita hadapi di masa depan. Kita terbiasa untuk tutup mata dengan masalah “masa depan” dan kita terbiasa untuk selalu yakin bahwa masa depan pasti akan lebih baik.


Tapi kenyataan yang harus dihadapi adalah kita tidak akan pernah seyakin itu pada inti permasalahannya yaitu “persiapan untuk masa depan “ itu sendiri, dimana pada akhirnya kita ungkapkan “semua sudah diatur oleh-NYA”


Sebagiaan masyarakat indonesia beranggapan dan bahkan sudah menjadi prinsip mereka untuk bekerja (apa saja yang penting halal) untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya dan kebutuhan rumah tangganya.


satu hal yang tidak diperhitungkan adalah :

1. berapa lama dia akan bekerja dan apa yang sudah dihasilkan dalam masa bekerjanya itu.

2. Persiapan macam apa yang sudah dilakukan untuk keluarganya “jika” nilai ekonomisnya sudah tidak mendukung lagi dalam sisa hidupnya.


Dari survey dan beberapa pembicaraan dengan masyarakat kita, semua terpaku pada satu inti bahwa selama fisik dan jiwa masih kuat untuk berusaha maka dia akan terus bekerja untuk menopang kehidupan ekonomi dan masa depan keluarganya.


Tapi ada hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh sebagian masyarakat kita, bahwa takdir tidak akan terjadi kalau si pelaku tidak mencoba untuk merubahnya sendiri. Bahwa garis kehidupan manusia ditentukan oleh gerak langkahnya sendiri, meskipun benar adanya bahwa kuasa takdir adalah ditangan Yang Maha Kuasa.


Banyak diantara kita merasa bahwa kita sudah berinvestasi dengan benar sesuai dengan kemampuan dan kuasa kita.


Kita ambil contoh dari email yang masuk ke email saya aguswidiarto@yahoo.com yang pernah saya masukkan dalam milist di suatu group. Disitu diungkapkan seperti ini :


5 th yang akan datang saya masih akan terus bekerja dengan sedikit menabung untuk merencakan membeli sebidang tanah untuk kemudian dibangun menjadi kontrakan yang akan disewakan.

Dari situ saya akan punya penghasilan tetap setiap bulannya mulai 5 th yang akan datang sampai beberapa tahun kemudian,

10 th yang akan datang, saya akan menambah seorang anak (adik bagi anaknya sekarang yg berusia 1 th ) dengan perhitungan pada saat itu biaya hidup sudah “agak “ mendingan daripada sekarang karena sudah ditunjang oleh penghasilan tambahan dari rumah kontrakan tadi.

15 th yang akan datang, ketika anak-anak sudah beranjak dewasa dan beban hidupnya sudah semakin berkurang, disamping penghasilan dari kontrakan, si anak dianggap sudah mampu untuk mandiri.”


Mari kita analisa bersama apakah perencanaan semacam itu sudah benar ataukah masih perlu perbaikan untuk menyempurnakan angan angan dan impian untuk bisa mandiri dan berpenghasilan dikemudian hari meskipun kita sudah memasuki masa pensiun


Mari kita perhitungkan dari masa 5 tahun yang akan datang.


Kita ambil sample pada saat ini kita bekerja di suatu perusahaan dengan gaji sebagai staff sebesar Rp.2.500.000,- / bulan dan istri juga bekerja dengan gaji standart Rp. 1.500.000,-/bln. Total = Rp. 4.000.000,-


Kita perhitungkan biaya hidup kita pada saat ini :

- kontrakan / kost 500.000 / bln

- cicilan motor ( 3th ) 600.000 / bln

- listrik & air 200.000 / bln

- telephon ( HP ) 200.000 / bln

- bensin / hr = 2 ltr x 22 hr kerja 198.000 / bln

- servis motor/ganti oli 60.000 / bln

- makan 2 org @ 20.000 600.000 / bln

- rokok (suami) @ 9.000 135.000 / bln

- kebutuhan rmh tangga 150.000 / bln

- TOTAL 2.664.000 / bln


Kondisi perhitungan itu adalah dengan kondisi belum mempunyai anak (pasangan baru ) artinya dalam sebulan dia mampu menabung sebesar Rp.1.336.000,-



Bagaimana kalau pasangan tersebut sudah mempunyai 1 orang anak ?


Bisa ditambahkan biayanya sebagai berikut :

- Susu anak 4 klg @ 800 gr 650.000 /bln

- makanan anak 250.000 /bln

- cadangan dokter/bln 250.000 /bln

- mainan anak 50.000 / bln

- jajan anak @ 5000 150.000 / bln

- TOTAL 1.350.000 /bln

- TOTAL seluruhnya 4.014.000 /bln


Artinya kondisinya defisit (14.000) /bln


Dengan catatan seperti di atas, kenaikan harga tiap tahun yang terjadi selama ini adalah berkisar 13 – 20 %


Dengan kondisi tersebut apakah mungkin dalam 5 th ke depan pasangan tersebut bisa mewujudkan impiannya untuk mempunyai rumah petak yang bisa dikontrakkan, sementara kondisinya setiap bualan adalah defisit / Minus.


(mari kita renungkan bersama ) “Kalau” kondisi pada 5 th pertama seperti itu, bagaimana mewujudkan impian 10 th-nya ?


Dalam perhitungan di atas kita mungkin sedikit lupa bahwa setelah tahun ke 3 selesai ( masuk th ke 4 ) cicilan kendaraan sebesar 600.000 sudah lunas dan artinya bisa masuk ke tabungan.


Jika dikurangi dengan kondisi defisit maka :

- defisit bulanan (14.000)

- relokasi cicilan kendaraan 600.000

- Masuk ke rekening tabungan 586.000


- Jadi pada 5 th pertama jumlah tabungan adalah sebesar :

585.000 x 24 bulan = 14.040.000


Cukup besar mungkin jika kita bisa disiplin dengan angka angka tersebut.


Tapi kembali ada point yang terlupa dalam hitungan kita, dimana setiap tahun sudah menjadi tradisi dan budaya di negara kita yaitu pada musim lebaran kita dibiasakan untuk “pulang kampung” dengan segudang oleh oleh dan biaya transportasi yang tidak sedikit jumlahnya yang selalu lepas dari perhitungan kita semua.


Kembali kita disini diajak untuk berhitung dengan angka tabungan yang disiapkan diatas kertas sejumlah 14.040.000 tadi, apakah angka tersebut bisa dipegang ataukah justru jumlah defisit anggaran setiap tahunnya akan semakin besar.


Mari kita memasuki 5 tahun ke 2.

Dimana keinginan dan rencana sampai dengan tahun ke 10 adalah menambah 1 orang anak lagi dengan penghasilan tambahan dari rumah kontrakan yang diangankan.


Jika pada 5 th pertama saja rencana untuk memiliki rumah kontrakan belum terlaksana bagaimana caranya mewujudkan impian punya penghasilan tambahan dari rumah kontrakan, dimana dengan rencana menambah jumlah anggota keluarga adalah disertai dengan tambahan biaya untuk anak ke 2.


Kita bisa memperhitungkan sendiri berapa besar biaya yang dibutuhkan dan berapa besar tabungan yang bisa disiapkan. Belum ditambah dengan biaya rencana sekolah anak pertama dan berikutnya.


Seperti pepatah yang menyatakan bahwa “jika orang tuanya adalah kopral maka pasti dia ingin anaknya menjadi jendral”. Dan untuk mewujudkan impian itu jumlah biaya yang dibutuhkan akan semakin besar. Dari sisi kepercayaan dan keagamaan sering dikatakan bahwa setiap kelahiran seorang anak selalu disertai dengan naiknya rejeki ( setiap anak membawa rejekinya masing masing )


Semua pandangan itu adalah benar adanya, tapi pertanyaannya adalah seberapa kuat kita harus bekerja dan mempersiapkan semuanya. Benar adanya bahwa rejeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tapi kalau kita selalu dikondisikan dengan keadaan seperti diatas bagaimana cara kita mengatasinya.


Dengan semua topik permasalahan di atas kita juga dihadapkan dengan kondisi budaya di negara kita dimana secara umum seorang yang ingin berinvestasi selalu ingin terlibat langsung di dalamnya dan mengawasi sendiri segala gerak langkah investasi yang dilakukan. Bahkan kalau perlu berhenti dari pekerjaan utama dan beralih kepada jenis investasi yang dilakukan dan menjadi seorang usahawan yang melaksanakan sendiri segala aktivitasnya. hal ini lebih didasarkan pada faktor kepercayaan si pribadi tersebut atas uang yang diinvestasikan dengan alasan ketakutan jika uangnya tidak akan berkembang dan bahkan hilang sama sekali.


Dari sekian banyak orang yang melakukan usaha / wiraswasta, berapa banyak yang bisa bertahan dan berkembang, karena faktor bakat dan dukungan masyrakat serta keluarga disini sangat menentukan. Belum lagi faktor “luck/ peruntungan” serta kejelian dalam berinvestasi tersebut.



Kalau investasi tersebut berjalan lancar dan berkembang sesuai dengan keinginan maka semua impian di 5 th pertama tadi bahkan 5 th ke 2 bisa dengan aman melangkah ke depan. Tapi kembali kita dihadapkan dengan faktor “resiko” dimana pada saat ini kondisi perekonomian di negara kita sedang tidak stabil dengan tingkat inflasi yang “cukup” dan kondisi fluktuasi harga yang cukup besar. Dengan kondisi seperti itu berarti bahwa kekuatan “uang” yang paling berpengaruh pada kekuatan investasi kita.


Tentu keadaan seperti diatas harus kita lawan dengan trik dan perencanaan keuangan kita sendiri dengan lebih matang.


Tapi bagaimana kita membuat perencanaan keuangan dan melakukan investasi “jika” kondisi keuangan kita selalu minus setiap bulannya. Ada solusi ringan yang mungkin belum banyak dilakukan oleh masyarakat kita karena terbentur oleh faktor “kepercayaan” tadi dan juga selalu didasarkan oleh kenyataan dan pengalaman buruk serta image yang kurang bagus di masa lalu dengan apa yang disebut “ ASURANSI”


Bagi sebagian masyarakat kita kata kata “asuransi” masih merupakan momok dan image serta preseden yang sangat buruk. Bagi sebagian orang yang sudah sadar akan kebutuhannya mereka bisa menarik garis tengah dan benar benar mengandalkan “asuransi” tersebut sebagai salah satu jaminan hidupnya dimasa depan dan juga bagi bekal pendidikan anak anaknya.


Preseden yang buruk tadi banyak didasarkan pada beberapa kondisi pengalaman ( berdasarkan survey ) bahwa asuransi adalah :

- hanya kewajiban bayar tagihan premi yang harus dipenuhi

- susah klaim pada saat dibutuhkan karena administrasi dan prosedur yang rumit

- tidak bisa bayar Klaim pada waktunya sesuai dengan informasi yang ada.


Mengapa hal tersebut bisa terjadi ?

1. Kewajiban terasa berat karena rata rata nasabah tidak mengerti apa yang diambil ( hanya mengambil asuransi karena trend dan apa kata agen )

2. Pada saat pengisian formulir banyak terjadi tidak diisi dengan data yang sebenarnya terutama pada data kesehatan dan riwayat kesehatan.

3. Proses klaim yang dianggap remeh oleh nasabah, artinya pada saat nasabah membutuhkan dana yang diinvestasikan atau mengalami suatu peristiwa tidak secepatnya diinformasikan kepada pihak asuransi sehingga kesan terhambat dalam proses pembayarannya tidak lancar.


Jika terjadi hal yang demikian yang timbul kemudian adalah klaim bahwa ikut program asuransi hanyalah merugikan nasabah saja.Tapi jika nasabah mengetahui apa yang diambil / diinvestasikan serta mengikuti jalur dan prosedur yang benar maka manfaat yang diterima sangat luat biasa dan bahkan sering kali terjadi diluar dugaan si nasabah sendiri terutama mengenai hasil investasi yang sudah dilakukan.


Mari kita membuat analisa kembali dari data yang sudah dihitung di atas dengan relokasi dana dari biaya cicilan kendaraan sebesar 600.000 tadi dan berapa besar manfaat yang bisa diambil dari investasi sebesar 600.000/ bln dengan perhitungan 5 th, 10 th dan bahkan sampai berapa lama manfaat itu bisa kita rasakan.

 
Powered By Blogger | Portal Design By __ H u g o S __ © 2009 | Best View: Firefox | Top